SUKU GAYO ACEH
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal
taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo
dalam percakapan sehari-hari mereka. Bahasa Gayo ini mempunyai keterkaitan
dengan bahasa Suku Karo
di Sumatera
Utara. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut
"Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.
Pengaruh dari luar
yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut.
Bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di
Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena
pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya
dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu
karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi
oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan
kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh
Tenggara.
Dialek pada suku Gayo,
menurut M.J. Melalatoa, dialek Gayo Lut terdiri dari subdialek Gayo Lut dan
Deret, sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan
dialek Gayo Lues terdiri dari subdialek Gayo Lues dan Serbejadi. Subdialek
Serbejadi sendiri meliputi sub-subdialek Serbejadi dan Lukup (1981:53).
Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan
persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan
Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan
Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri
terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo,
(memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda, untuk menunjukan tata
krama, sopan santun dan rasa hormat. Pemakaian ko dan kam, yang
keduanya berarti kamu (anda). Panggilan ko
biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan
dengan ko. Bahasa Gayo Lut
dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
SEJARAH SUKU GAYO
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge
didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan
Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan
Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan
anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari
raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era
kolonial Belanda.
Raja Linge I,
disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru
atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah)
dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian
merantau ke tanah Karo
dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan
mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang
bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan
Lamuri
. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah
Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya
menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan
menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di
daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara
dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak
diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih
menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih
memilih untuk mengembara.
Nah itulah penjelasan tentang Suku Gayo, semoga menambah wawasan anda tentang suku- suku di Indonesia.
PELAJARI,CINTAI, DAN LESTARIKAN BUDAYA INDONESIA!
Sumber : wikipedia
Nah itulah penjelasan tentang Suku Gayo, semoga menambah wawasan anda tentang suku- suku di Indonesia.
PELAJARI,CINTAI, DAN LESTARIKAN BUDAYA INDONESIA!
Sumber : wikipedia
Suku Gayo
Reviewed by Unknown
on
Oktober 28, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: